Jumat, 18 Juni 2010

Kontroversi Penegakan Hukum di Indonesia




Hukum, saat ini menjadi sebuah fenomena besar dalam lingkup nasional Indonesia. Dari seluruh pelosok dapat kita saksikan antusiasme masyarakat membicarakan hal ini. Tidak siang ataupun malam, semuanya sedang asyik menengadahkan pemikiran mengenai hal pelik yang sedang terjadi di Nusantara ini. Tak dapat dipungkiri, kenyataannya saat ini begitu banyak persoalan yang membuat beribu pertanyaan di tiap sudut otak rakyat Indonesia. Belum ada taraf penyelesaian yang mampu menyentuhnya secara keseluruhan, namun tidak sedikit pula solusi yang telah muncul selama bergulirnya beberapa kasus belakangan ini.

Masih begitu jelas dalam ingatan kita, kasus Bank Century yang hingga saat ini solusinya semakin berlarut-larut hingga gaungan suara-suara wakil rakyat seakan telah parau meneriakkan simpatinya terhadap kasus ini. Beberapa waktu lalu, “SD” pun menjadi populer akibat perkataannya yang menjadi kontroversi dan mengakibatkan adanya gesekan perdebatan antara pihak Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari sini kemudian dapat dilihat bahwa hukum yang telah diupayakan sedemikian rupa agar terlihat sempurna dan mampu mengakomodir segala urusan dalam Negara beserta rakyatnya, malah membuat ricuh para penegak hukum itu sendiri. Lalu kepada siapa masyarakat harus mengadukan keluhannya, sedangkan yang akan mengayomi saja belum jelas moral dan perilakunya.

Terlalu banyak dinding kekuasaan yang terkotori oleh puing kemunafikan. Begitu kira-kira yang terkuak saat ini. Bentuk penegak hukum yang tidak sesuai dengan jernihnya kode etik yang senantiasa digemakan kepada mereka yang begitu bangga akan atribut-atribut di lengan dan bahunya. Ironis memang, tapi kata tidak lagi berguna ketika panah keganasan dimunculkan untuk melindungi kekuasaan yang lebih mencerminkan pengungkungan terhadap kantung-kantung kecil yang menderita di bumi pertiwi ini. Akankah semuanya berlarut dalam keniscayaan dan tidak dapat lagi tersentuh oleh tiang penegakan yang sesungguhnya? Semakin menimbulkan pembantaian kalimat yang seakan tidak pernah berujung.

Moral dan Keadilan tidak lagi sejalan. Sisinya kini menopang pada dua arah yang berlawanan. Bahkan yang lebih parah, justru menciptakan kelimpungan yang semakin sulit ditemukan ahli penawarnya. Simbol kebenaran justru dianggap menjadi busur penghalang bagi tegaknya suatu kepentingan. Dalam jiwa yang semakin luntur rasa dan pikirnya, hanya ditemukan nafsu bukan lagi kemuliaan ataupun keluhuran.

Penguatan pemahaman tentang hukum dan seluruh isi peraturan perundang-undangan sering menjadi tolak ukur bagi sistem pendidikan hukum di Indonesia. Tapi sistem ini malah mengenyampingkan persoalan-persoalan vital yang lebih berarah kepada perbaikan moral dan perilaku. Padahal sebenarnya, yang menjadi inti dari seluruh substansi hukum, agar secara keseluruhan sistem berjalan secara prosedural dan tercapai secara substansial. Namun jika yang terjadi sekarang malah berbanding terbalik dengan harapan itu, apakah sistem yang memang sejak awal berjalan lebih patut disalahkan, ataukah harus memandang kepada kebobrokan penegaknya yang kurang menjunjung etika profesi yang selalu diagung-agungkan?

Solusi yang seringkali menjadi penengah saat terjadi perselisihan, yakni menciptakan aturan baru untuk menanggalkan aturan lama yang ternyata tidak berjalan efektif dan serta merta menimbulkan banyak problema. Tentu hal tersebut diharapkan menjadi penyelesaian yang baik demi terciptanya tertib hukum dan aturan, namun yang terjadi seiring diterapkannya aturan baru itu malah semakin meningkatkan tingkat pelanggaran terhadapnya. Para penegak hukum semakin mempunyai kelonggaran menggunakan kekuasaannya untuk menyalahgunakan kewenangan yang telah lebih awal diberikan kepadanya.

Yang perlu diingat, yakni hukum bukan sekedar tulisan yang tercantum dalam lembaran Negara atau Kitab Undang-undang, namun lebih dari itu hukum merupakan sebuah penerapan aksi demi terwujudnya suatu sistem yang berlandaskan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Jika kita hanya bercermin pada aturan yang berlaku tanpa memandang penuh kepada nilai-nilai yang ada di masyarakat, seakan-akan kehidupan yang berlaku di masyarakat itu tidak mempunyai andil dalam pembangunan hukum itu sendiri, padahal secara keseluruhan masyarakat mau tidak mau adalah bagian pokok dari hukum itu sendiri. Tanpa kita sadari, mungkin saja terdapat banyak produk hukum yang tidak sesuai dengan keinginan dan hasrat masyarakat. Inilah yang sedikit banyak menimbulkan pergeseran pemahaman, bahwa masyarakat yang tidak mau tunduk terhadap hukum yang dibuat pemerintah, padahal yang terjadi adalah produk hukum pemerintah sendiri yang kurang bersinergi dengan keadaan masyarakat.

Oleh karena itu, perlu kiranya kita menimbang kembali apa yang perlu dibenahi dalam penerapan sistem hukum di Indonesia saat ini. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa kemampuan masyarakat kini dalam mengkritisi sebuah kebijakan adalah sangat tajam, yang akhirnya memunculkan aroma kebinasaan kekuasaan di mata masyarakat itu sendiri. Kekhawatiran yang timbul, bukan hanya pada bagian substansi ataupun struktur hukum, tapi juga budaya hukum yang senantiasa tidak dapat lepas dari kehidupan masyarakat dari dulu hingga sekarang. Maka, hukum yang komunikatif dari segi substansi, struktur dan budaya perlu ditanamkan agar tidak menjadi boomerang bagi pelaksanaannya sendiri. Jangan sampai substansi yang dihasilkan hanya berkiblat pada keluwesan penegak hukum dalam menjerat kekuasaan tanpa memperhatikan keberadaan budaya hukum yang tumbuh dan hidup di masyarakat serta nantinya tidak menimbulkan profokatif hukum antara ketiga unsur sistem hukum tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar