Kamis, 27 Mei 2010

*Misteri Masa Depan*


Benteng Selayar, 30 Desember 2009

Bualan itu kembali menghantui ditiap saat, seperti gurita yang siap menggenggam dengan tentakel liarnya. Tiap kali ku mulai terlelap dengan mimpi yang menguak di istana khayal, ia datang menerobos pintu ketenanganku. Ah, sungguh malang nasib kereta kehidupanku, yang harus melayani kecerobohan bualan itu tanpa henti. Kapan titik nadirnya mencapai puncak? Agar tak meniadakan mimpi-mimpiku lagi di tiap malam. Keinginanku untuk menghapusnya sungguh telah menjadi paradigma baru, seakan menerawang dalam suasana hampa yang tak ada arah tujuan. Sampai kapan harus begini terus?

Cerobong uap yang bertengger manis dengan bau yang menyengat, mungkin hal ini pantas disematkan bagi sebagian orang-orang yang hanya memenuhi bibirnya oleh belatung-belatung fitnah. Dengan beribu kiasan, seolah siap menerkam dunia tanpa peduli akan segala yang terjadi di hadapannya.

“Kau Pengkhianat!!!”, seperti itulah gumam yang bersuara dihatiku. Tapi tak juga dapat keluar menjadi perisai untuk khianat-khianat diluar sana. Ironi berkecamuk memperlihatkan seluruh kebengisan yang terekam dikamera matanya. Kapan Kegundahan itu akan meledak dan dengan sendirinya melayang untuk menghancurkan seluruh kutu busuk yang telah bermandikan mahkota-mahkota emas di pusat kemeriahan kota.

Jika sempat meneropong kembali pada jejak sebelumnya, sungguh tak pernah terpikirkan olehku bahwa peristiwa ini akan ikut mewarnai perjalanan citaku. Jiwaku mungkin akan teriak dahulu sebelum mengambil langkah baru yang jejaknya tak tentu seperti ini. Memusingkan dan justru membuat para insan penghuni dunia bingung dengan lidah yang menjulur seakan siap disuap dengan pepatah-pepatah bohong dari pembual itu. Bingung dengan yang dipaparkan atau bingung harus memilih yang dipersalahkan atau yang dibenarkan? Hal ini tak kan ada habisnya, jika mata, lidah dan tulang hanya bertuankan setumpuk neraca berisi uang emas. Menyedihkan, kusambit kata ini dari sebuah kamus lalu menitikkannya pada peristiwa itu.

Mungkin surga-surga dalam jiwa suci hanya dapat berteriak mengikuti isi puisi salah satu penyair,
Aku
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
.......
(Chairil Anwar)

Begitulah seterusnya hingga jaman meneggelamkan dan menghabisinya.

Suntuk mulai menggerayuti tiap detik hidupku. Sepi itu kian melanda dan tak ku temukan ahli untuk menyembuhkannya. Bisa saja ia pergi tanpa ku ketahui sebelumnya dan tanpa dapat ku perkirakan waktunya, namun dari situlah dapat ku mulai sampul baru hidup dengan lebih tenang. Semuanya hanya sebuah “mungkin”, untuk keadaan menggantung seperti ini. Berandai-andai menjadi keahlian yang baru dan dapat dikatakan manjur untuk segelintir pernik perbaikan jiwa , jiwa yang mulai rapuh dan perkokohannya tak lagi dapat bertahan dengan laju yang begitu sempurna cepatnya.

Kemana puing sederhana itu disembunyikan? Mungkinkah dibalik jubah kemunafikan yang dilapisi gembok perunggu sehingga tak dapat tembus dengan beribu lirikan halus? Ataukah malah hanya berkeliaran dan tak menemukan jalur kembali kemudian tak dapat teriak karena todongan pisau bening telah siap menancap dalam darah murninya?

“Ah, mana mungkin seperti itu?”, sanggah seseorang dari balik kepungan kabut hitam pekat.

Aku tersentak kaget mendengarnya.

“Bisa saja”, sahutku tak kalah yakin.
“Memangnya alasan apa yang membuatnya begitu nekad menerawang sendiri tanpa tujuan yang pasti? Atau kalian yang terlalu bodoh membiarkannya mencari jalur itu sendiri?”, suara itu semakin meninggi.

“Memangnya kau siapa? Berani meneriakkan kata demi kata hanya untuk menyalahkan kegundahan kami. Kau kah orang yang selama ini menertawakan kami karena keluguan kami yang lebih menampakkan kebodohan? Kau kah yang sekian waktu berempati kepada kami lalu kau lempari dengan segerombolan hina tusukan jarum jahatmu?”, sanggahku lebih keras.

Dia terdiam.

Jika saja kalimat yang kulemparkan itu benar adanya, mungkin dia sementara mengernyitkan dahi untuk membalasnya. Atau malah menghilangkan diri seketika juga untuk menghindar dari petuah-petuah yang siap kuluncurkan agar ia berang. Sempat terbersit tawa kecil dalam hatiku, tapi itu tak lama.

“Tak sadar kah kau meneriakkan keji itu padaku? Kau sungguh ironis menyebutku sebagai seorang yang siap berempati dalam seluruh ketidakberdayaan kaummu. Tidakkah kalian berpikir jika akulah insan yang bersedia menolong demi kemasyhuran potongan-potongan ladangmu yang mulai mengering?”, sahutnya membuatku tersentak lagi.

Aku diam, tak banyak lagi kata yang terangkai dalam benakku untuk menyambut kalimatnya yang terakhir tadi. Hanya gumamku yang bertanya-tanya akan ketulusan yang ia tawarkan.

“Aku tak berhak menjawab semua yang kau ucapkan. Aku tak punya kuasa mendalilkan segala yang kau harap. Aku pun tak tau apakah niatmu itu setulus salju yang mendinginkan ataukah hanya seperti hangatnya bubur bayi yang mudah hilang setelah ditiup dengan sepercik angin mendayu?”, tanyaku ingin memastikan gumamku tadi.

“Kaumku tak kan bersedia dengan menjilat sesuatu yang menghambakan mereka di tanah mereka. Ini kugaungkan padamu, karena kami juga tak serendah yang kau pikirkan. Kami punya harga diri dan harga diri kami tak kan bisa kau beli dengan segepok emas yang kau gantungkan dileher bajumu”, lanjutku kemudian.

“Kalian masih berlagak sok suci. Padahal hanya dengan sedikit pertolonganku, kau dan kaummu akan berhak menjalani seluruhnya tanpa perlu memetik kegundahan dan kegelisahan lagi”, bantahnya.

“Bagaimana kami bisa yakin dengan teriakan yang hanya bisa menggemakan suaranya dibalik kabut? Tak jelas wujudmu dan tak keliatan asalmu. Sebenarnya kau itu siapa? Sepertinya kau mengenal kami lebih jauh dari yang kami sangka. Apakah kau telah mengintai kehidupan kami selama berpuluh-puluh tahun? Tunjukkan dahulu ragamu agar bisa kami pertimbangkan yang kau maksudkan dalam kucuran kalimatmu tadi”, aku mulai sedikit menantangnya.

Tak terdengar suara lagi. Hanya bau yang menyengat dari tong sampah tak jauh dari bayanganku menengadah kini. Semakin lama aku menunggu, namun tak juga ada sahutan yang menyambut tawaranku tadi.

“Bagaimana? Kau tak keberatan bukan?”, tanyaku disaksikan dinding lorong yang begitu pengap dan gelap.

“Kau tidak perlu mengetahui wujudku. Kau dan kaummu hanya perlu bantuan, bukan? Jadi tak ada salahnya aku menolak sesuatu yang menurutku hanya membuang sisihan waktuku untuk lebih lama disini”, jawabnya dengan nada sedikit congkak.

“Kalau begitu, kami tak akan menerima yang kau tawarkan. Karena hanya membuat kami merasa berada dalam naungan seseorang yang tak jelas fisik dan kelakuannya. Bisa saja kau yang tak kami kenal sekarang, tiba-tiba suatu saat menusuk kami dari belakang dan seketika menghilang kemudian tak pernah kembali lagi setelah mengambil semua yang kami punya. Sudah segudang rayuan yang kami dengar untuk memperbaiki nasib kaum kami, tapi ujung-ujungnya hanya meninggalkan jejak buruk bagi titian benang kehidupan kami. Apalagi tadi kau sempat meneriakkan kepada kami slogan-slogan yang begitu menuduh tindakan ceroboh kami selama ini, yang hanya membiarkan kaki seorang buta meninggalkan tempatnya untuk mencari jalur kehidupan dimana kebenaran itu terlahir”,sahutku.

“ Memang sikap kalian ceroboh. Tak pernah bisa memilah dengan penuh teliti apa yang ada dibalik kepalsuan dan tak bisa menerawang dibalik ketulusan. Bukankah selama ini kalian telah membiarkan Si Buta itu berjalan ibarat tanpa kaki dan tangan yang dapat menuntunnya dengan baik. Mengapa sekarang justru mencari kambing hitam untuk dijerumuskan ke dalam lubang ke”ceroboh”an kalian. Sebuah kaum yang ingin melihat negerinya maju dan berkembang, hanyalah kaum yang terbuka namun dapat melihat sisi baik dan buruk dari keterbukaan itu. Tak selamanya segala hal yang membuat dirinya transparan mencerminkan wujud nyatanya yang dapat dipandang dalam mata telanjang. Masih banyak yang perlu ditelaah dan difokuskan, tak sekedar berkata “Ya. Dia Sempurna” , tanpa mencari sudut-sudut keganasannya. Mungkin saja suatu ketika dia menerkam dan tak kalian ketahui”, jelasnya.

“Lalu, mengapa kau sendiri tak mau menampakkan wujud aslimu? Apakah terlalu buruk bagi kami untuk mengetahui sebenarnya yang ada dibalik kabut itu? “, tuduhku kembali.

“Jika kau ingin melihat wujud asliku maka berbaliklah dan pandanglah benda bening di balik tubuhmu itu. Sesungguhnya kau akan mendapatkan jawaban atas tanyamu kepadaku”, jawabnya dengan diikuti hembusan angin kencang.

Kemudian aku perlahan membalikkan tubuh dan menatap benda bening yang dikatakannya tadi. Lama kelamaan, benda itu menyerupai sebuah cermin yang begitu besar. Dan disana hanya terlihat sebentuk tubuh tegap dan gagah dengan pakaian lengkap.
Jika dilihat dari fisiknya, dia masih muda dan tak terlihat keriput sedikitpun menggerayangi sekeliling wajahnya.

“Dialah pemuda harapan Negeri!!!”, teriak suara itu lalu menghilang.

ITU KAN AKU”, gumamku sambil memandang sesosok tubuh dalam cermin itu.

Sumber : 'Alam pemikiranku'