Rabu, 02 Desember 2009

Warna Persahabatan




Di suatu masa warna-warna dunia mulai bertengkar Semua menganggap dirinyalah yang terbaik yang paling penting yang paling bermanfaat yang paling disukai HIJAU berkata:"Jelas akulah yang terpenting. Aku adalah pertanda kehidupan dan harapan. Aku dipilih untuk mewarnai rerumputan, pepohonan dan dedaunan. Tanpa aku, semua hewan akan mati. Lihatlah ke pedesaan, aku adalah warna mayoritas..."

BIRU menginterupsi: "Kamu hanya berpikir tentang bumi, pertimbangkanlah langit dan samudra luas. Airlah yang menjadi dasar kehidupan dan awan mengambil kekuatan dari kedalaman lautan. Langit memberikan ruang dan kedamaian dan ketenangan. Tanpa kedamaian, kamu semua tidak akan menjadi apa-apa"

KUNING cekikikan: "Kalian semua serius amat sih? Aku membawa tawa, kesenangan dan kehangatan bagi dunia. Matahari berwarna kuning, dan bintang-bintang berwarna kuning. Setiap kali kau melihat bunga matahari, seluruh dunia mulai tersenyum. Tanpa aku, dunia tidak ada kesenangan."

ORANYE menyusul dengan meniupkan trompetnya: "Aku adalah warna kesehatan dan kekuatan. Aku jarang, tetapi aku berharga karena aku mengisi kebutuhan kehidupan manusia. Aku membawa vitamin-vitamin terpenting. Pikirkanlah wortel, labu, jeruk, mangga dan pepaya. Aku tidak ada dimana-mana setiap saat, tetapi aku mengisi lazuardi saat fajar atau saat matahari terbenam. Keindahankubegitu menakjubkan hingga tak seorangpun dari kalian akan terbetik di pikiran orang."

MERAH tidak bisa diam lebih lama dan berteriak: "Aku adalah Pemimpin kalian. Aku adalah darah - darah kehidupan! Aku adalah warna bahaya dan keberanian. Aku berani untuk bertempur demi suatu kausa. Aku membawa api ke dalam darah. Tanpa aku, bumi akan kosong laksana bulan. Aku adalah warna hasrat dan cinta, mawar merah, poinsentia dan bunga poppy."

UNGU bangkit dan berdiri setinggi-tingginya ia mampu: Ia memang tinggi dan berbicara dengan keangkuhan. "Aku adalah warna kerajaan dan kekuasaan. Raja, Pemimpin dan para Uskup memilih aku sebagai pertanda otoritas dan kebijaksanaan. Tidak seorangpun menentangku. Mereka mendengarkan dan menuruti kehendakku." Akhirnya

NILA berbicara lebih pelan dari yang lainnya, namun dengan kekuatan niat yang sama: "Pikirkanlah tentang aku. Aku warna diam. Kalian jarang memperhatikan daku, namun tanpaku kalian semua menjadi dangkal. Aku merepresentasikan pemikiran dan refleksi, matahari terbenam dan kedalaman laut. Kalian membutuhkan aku untuk keseimbangan dan kontras, untuk doa dan ketentraman batin."

Jadi, semua warna terus menyombongkan diri, masing-masing yakin akan superioritas dirinya.
Perdebatan mereka menjadi semakin keras. Tiba-tiba, sinar halilitar melintas membutakan.
Guruh menggelegar. Hujan mulai turun tanpa ampun. Warna-warna bersedeku bersama ketakutan,
berdekatan satu sama lain mencari ketenangan.

Di tengah suara gemuruh, hujan berbicara:
"WARNA-WARNA TOLOL, kalian bertengkar satu sama lain, masing-masing ingin mendominasi yang lain. Tidakkah kalian tahu bahwa kalian masing-masing diciptakan untuk tujuan khusus,
unik dan berbeda? Berpegangan tanganlah dan mendekatlah kepadaku!" Menuruti perintah, warna-warna berpegangan tangan mendekati hujan, yang kemudian berkata:

"Mulai sekarang, setiap kali hujan mengguyur, masing-masing dari kalian akan membusurkan diri sepanjang langit bagai busur warna sebagai pengingat bahwa kalian semua dapat hidup bersama dalam kedamaian.

Pelangi adalah pertanda Harapan hari esok."
Jadi, setiap kali HUJAN deras menotok membasahi dunia,
dan saat Pelangi memunculkan diri di angkasa marilah kita
MENGINGAT untuk selalu MENGHARGAI satu sama lain.
MASING-MASING KITA MEMPUNYAI SESUATU YANG UNIK KITA SEMUA DIBERIKAN KELEBIHAN UNTUK MEMBUAT PERUBAHAN DI DUNIA DAN SAAT KITA MENYADARI PEMBERIAN ITU, LEWAT KEKUATAN VISI KITA,
KITA MEMPEROLEH KEMAMPUAN UNTUK MEMBENTUK MASA DEPAN ....

Persahabatan itu bagaikan pelangi:

Merah bagaikan buah apel, terasa manis di dalamnya.
Jingga bagaikan kobaran api yang tak akan pernah padam.
Kuning bagaikan mentari yang menyinari hari-hari kita.
Hijau bagaikan tanaman yang tumbuh subur.
Biru bagaikan air jernih alami.
Ungu bagaikan kuntum bunga yang merekah.
Nila-lembayung bagaikan mimpi-mimpi yang mengisi kalbu


sumber : artikel.sabda.org

KEBEBASAN HAKIM VS PENCARI KEADILAN

Sebenarnya pengertian “kebebasan hakim” dalam mengadili dan memutus suatu perkara secara limitatif telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945, Jo. Pasal 4 ayat (3) Jo. Pasal 16 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Cuma prinsip rule of the law dalam praktiknya sangat dipengaruhi pada cara, sifat, sikap dan suasana kebebasan para hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.

Hakim lebih banyak menggunakan practical reason yang erat hubungannya dengan latar belakang masing-masing hakim bersangkutan. Apalagi dalam praktik, banyak hakim dalam kebebasannya memutus perkara selalu dipengaruhi oleh beberapa atribut yang selalu menjadi kerangka acuannya, antara lain hakim tidak bisa hanya berpegang pada prinsip legalitas saja (homo yuridicus), karena juga harus mendasari pada ethical principle atau keutamaan moral (homo ethicus) maupun keutamaan lainnya seperti keutamaan teological (homo religious).

Sedang pemahaman tentang kebebasan hakim adalah, jika seorang hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, serta bebas dari segala pengaruh pihak luar yang dapat merubah keyakinannya tentang rasa keadilan yang dimilikinya.

Namun menurut Yahya Harahap makna kebebasan hakim jangan diartikan kebebasan yang tanpa batas, dengan menonjolkan sikap sombong akan kekuasaannya (arrogance of power) dengan memperalat kebebasan tersebut untuk menghalalkan segala cara. Namun kebebasan tersebut harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan, dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum ( recht vinding).

Dalam praktiknya banyak pencari keadilan dikorbankan oleh praktik penyalahgunaan kebebasan hakim ini, karena hakim keliru memahami makna kebebasan peradilan (judicial independency), sehingga peradilan melalui hakim-hakimnya melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan kewenangannya, yang mengakibatkan hakim identik dengan peradilan dan hukum.

Hakim semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang salah dan/atau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini tentu telah menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana penyelesaian dan putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan tetapi menurut selera dan kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya dalam konteks ini, hakim bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan “pesan sponsor” yang telah menyuapnya. Sedangkan bagi pihak yang telah dikalahkan, hakim tersebut cukup menggunakan alasan klasik dan mengatakan, “kalau anda tidak puas dengan putusan kami, silakan anda melakukan upaya hukum” baik banding atau kasasi.

Salah satu untuk mengetahui bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim ini dapat diketahui di dalam putusan Peninjauan Kembali atau (hierzening) di Mahkamah Agung. Dalam putusan PK, tidak heran dalam putusan tersebut terungkap bahwa : 1) Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang baru diketahui setelah vonis dijatuhkan ; 2) Putusan hakim dibuat atas dasar sejumlah bukti yang dikemudian hari ternyata palsu ; 3). Setelah perkara diputus, ditemukan bukti-bukti baru yang bisa mengubah putusan ; 4). Vonis menjatuhkan hukuman melebihi atau di luar tuntutan ; 5). Dalam perkara yang sama ada putusan yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya ; 6). Hakim dalam putusannya jelas-jelas telah melakukan kekeliruan yang nyata ; Dll.

Suburnya praktik mafia peradilan di negeri ini, selalu bersumber dari bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Kalau dilihat adanya prinsip hukum yang mengatakan, Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya “putusan hakim harus dianggap benar” dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Prinsip ini telah menempatkan sang hakim sangat begitu penting dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Oleh karenanya kualitas keadilan dari setiap putusan yang dijatuhkan sang hakim sangat bergantung dari kualitas hubungan baiknya atau ketaqwaannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Apakah demikian kebanyakan dari para hakim yang dimiliki republik ini….?


sumber : www.kantorhukum-lhs.com